sebuah Catatan
Malam ini, jagat kembali mempertontonkan pada insan betapa agung Pengukirnya.
Ditengah ketakjuban itu, anak manusia hanya mampu menengadah ke langit – langit jiwanya yang paling tinggi.
Langit – langit itu terasa begitu tinggi baginya.
Sampai tiba di satu titik dimana dia – dengan sedidkit tersentak – menyadari betapa hampanya relung yang ada di bawah langit – langit itu.
Dan sudah terlalu senja untuk menyadari bahwa betapa banyak kesia – siaan yang harus dilalui kelebat matanya untuk akhirnya sampai pada puncak penyanggah relung itu.
Pagi perlahan menyongsong lembar barunya.
Dan masih seperti kemarin, matahari kembali terlambat bersinar.
Hanya bisu yang membayangi raga si anak manusia.
Kembali, lagi, lagi, dan lagi...
Masih seperti senja kemarin. Dia masih tetap di situ.
Di tempatnya, tempat dimana dia semestinya – atau tidak sengaja – berada.
Masih di situ, dan sendiri....
Hanya ketidakpastian dan ketidakabadian yang menemaninya – kalau itu bias disebut teman.
Masih menyaksikan semuanya seperti kemarin.
Dan masih seperti biasanya, matahari terlalu terlambat untuk terbit dan menyadarinya.
Biarlah, biarlah hanya dia, maksunya mereka.
Biarlah hanya mereka, dia dan bayangannya, bayangan dan mimpinya.
Biarlah hanya mereka yang menyadari semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar